INIMSIK.COM – Kisruh terkati royalti semakin memanas bergerak dari permasalahan itu akhirnya tercetus sebuah diskusi terbuka mengenai kewajiban royalti musik di Bali digelar pada Rabu, 7 Agustus 2025 secara daring. Bertujaun untuk memberikan informasi terkini sekaligus edukasi hukum kepada pelaku usaha, seperti pengelola kafe, hotel, restoran, dan pusat perbelanjaan, serta para musisi dan pencipta lagu. Acara ini sekaligus menjawab keresahan masyarakat terkait hak dan kewajiban penggunaan musik di ruang publik, sekaligus memastikan ekosistem musik di Indonesia, khususnya Bali, berjalan dengan adil dan transparan.
Bali, sebagai penyumbang royalti performing rights terbesar ke Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), menjadi fokus utama diskusi ini. Dengan semangat menjembatani kepentingan antara pengguna musik dan pemilik hak cipta, acara ini dirancang untuk memberikan pemahaman hukum yang jelas tanpa memihak pada satu pihak tertentu. “Kami ingin menciptakan ekosistem musik yang sehat, di mana semua pihak memahami hak dan kewajibannya,” ujar Gede Bagus Perdana Putra, S.E. yakni Aktivis Musik asal Bali yang sekaligus bertindak selaku moderator.
Sebanyak 78 peserta hadir secara aktif dalam diskusi ini. Pihak Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) WAMI menjelaskan secara rinci aturan hukum berdasarkan Undang-Undang, termasuk mekanisme penarikan royalti. Namun, para peserta, termasuk penyelenggara, menyampaikan bahwa transparansi dalam distribusi royalti kepada musisi dan pencipta lagu masih terasa kurang memadai. Banyak yang berpendapat bahwa pelaku usaha akan lebih bersedia memenuhi kewajiban pembayaran royalti jika proses distribusinya lebih jelas dan tepat sasaran.
Salah satu poin penting yang mengemuka adalah perlunya LMKN dan LMK untuk gencar melakukan sosialisasi. Tidak hanya menekankan kewajiban pembayaran royalti, tetapi juga mendampingi komunitas musisi dan pencipta lagu agar mereka memahami langkah-langkah untuk mendapatkan hak royalti sesuai ketentuan hukum. “Sosialisasi harus seimbang, tidak hanya kepada pengguna musik, tetapi juga kepada musisi agar mereka tahu cara mengakses haknya,” ungkap Gede Bagus.
Transparansi dalam penentuan jumlah royalti dan distribusinya menjadi kunci untuk membangun kepercayaan semua pihak. Diskusi ini juga menegaskan bahwa pelaku usaha wajib mengurus lisensi royalti melalui salah satu dari 18 LMK resmi di bawah naungan LMKN. Lisensi ini berfungsi sebagai “surat izin memutar musik” untuk menghindari masalah hukum, seperti yang dialami beberapa pelaku usaha, misalnya kasus Mie Gacoan. LMK juga menjelaskan bahwa segala jenis audio—termasuk suara alam, suara hewan, atau musik instrumental—yang diputar di tempat umum untuk tujuan komersial, wajib dikenakan royalti karena mengandung hak terkait, termasuk hak bagi pihak yang merekam atau mengunggah audio ke platform digital.
Gede Bagus, bersama organisasi dan paguyuban seni di Bali, menyatakan kesiapannya untuk memfasilitasi informasi dan menghubungkan pelaku usaha dengan LMK terkait pengurusan lisensi royalti. “Kami berharap ekosistem musik di Bali semakin sehat, mendukung kesejahteraan semua pihak, dari musisi hingga pelaku usaha,” tutupnya.
Dengan langkah edukasi dan transparansi yang lebih baik, diharapkan royalti musik dapat dikelola secara adil, mendukung perkembangan industri musik Indonesia yang berkelanjutan.
***ikuti kami di Google News