Djaduk Ferianto meninggal di usia ke-55 pada Rabu (13/11) dini hari. Indonesia berduka atas kepergian sang maestro.
Kabar duka ini kami terima pertama kali dari akun twitter @ngayogjazz, sebuah festival jazz tahunan yang digelar di Yogyakarta pada pagi tadi.
Pendiri Ngayogjazz ini seharusnya akan bermain bersama Kua Etnika dan Didi Kempot serta Soimah pada gelaran jazz yang digelar Sabtu, 16 November nanti. Tapi ternyata Tuhan berkehendak lain.
Sang kakak, Butet Kertaredjasa juga sesama pendiri Kua Etnika menyatakan keikhlasannya atas kepergian sang adik tercinta. Lewat akun instagramnya, mas Butet menuliskan dua kata yang mengeskpresikan kepasrahannya kepada sang Maha Pencipta.
Seperti yang dikutip dari laman pophariini.com, kematian musisi Djaduk Ferianto diduga karena serangan jantung. Keterangan ini datang dari pernyataan istri dari keponakan almarhum, Amelberga Astri P. Lebih jauh lagi, menurut Amel, jenazah Djaduk Ferianto disemayamkan di Padepokan Bagong Kussudiardja. Almarhum akan dimakamkan di makam keluarga Sembungan, Kasihan, Bantul.
Bersama kakaknya, Butet Kertaradjasa dan Purwanto, Djaduk Ferianto mendirikan Kelompok Kesenian Kua Etnika pada tahun 1995. Kua Etnika dirikan sebagai sebuah penggalian atas musik etnik dengan pendekatan modern.
Selain Kua Etnika, Djaduk juga mendirikan Orkes Sinten Remen di tahun 1997 sebagai bentuk apresiasinya terhadap musik keroncong. Di dunia kesenian, khususnya jazz, Djaduk Ferianto menjadi motor jazz Ngayogjazz di Yogyakarta sejak 2007 dan Jazz Gunung Bromo sejak 2009.
Almarhum Djaduk Ferianto menginggalkan 5 orang anak, satu diantaranya adalah Gusti Arirang yang dikenal oleh anak muda hari ini sebagai musisi/bassist dari grup band Tashoora. Grup band asal Jogja ini baru saja melepas album terbarunya yang bertajuk Hamba Jaring Cahaya, Hamba Bela Gelapnya. (Red/Pra/net/IMC)
ikuti kami di Google News